BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Islam
agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan
dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah
(hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya
untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Hutang
piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena
ketidakpercayaan diantara manusia pada saat sekarang ini. Sehingga orang
terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan
hartanya.
Dalam
hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan
salah satunya dengan cara Rahn (gadai).
Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika
memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan
masalah tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai
asal-asalan tanpa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami
akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.
B. Rumusan Masalah
a.
Apakah pengertian Rahn ?
b.
Apakah Dasar Hukum Rahn ?
c.
Bagaimanakah Rukun dan Syarat Rahn ?
d.
Bagaimanakah Pemanfaatan barang Rahn ?
e.
Bagaimanakah Berakhirnya Rahn ?
C. Tujuan
a.
Untuk mengetahui pengertian Rahn
b.
Untuk mengetahui Dasar Hukum Rahn
c.
Untuk mengetahui Rukun dan Syarat Rahn
d.
Untuk mengetahui Pemanfaatan Barang Rahn
e.
Untuk mengetahui Berakhirnya Rahn
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Rahn
Rahn
(gadai)
adalah sebuah akad utang piutang yang disertai angunan ( jaminan). Sesuatu yang
dijadikan sebagai jaminan disebut marhun,
pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin,
sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin. [1]
Secara
etimologi, kata ar-Rahn berarti atsubutu wa
dawamu artinya tetap kekal, atau al-habsu
wa lazumu artinya pengekangan dan keharusan dan juga bisa berarti jaminan.
Dalam Islam ar-rahn merupakan sarana
tolong-menolong bagi umat islam.[2]
Sedangkan secara terminology para
ulama fiqih mendefisikannya sebagai berikut [3]:
1.
Ulama
Malikiyah mendefinisikannya dengan :
Artinya :
Harta
yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Menurut
mereka, yang dijadikan barang jaminan ( angunan ) bukan saja harta yang
bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang
dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara actual, tetapi boleh
juga penyerahan secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang
diserahkan itu adalah surat jaminannya.
2.
Ulama
Hanafiyah mendefinisikan dengan :
Artinya :
Menjadikan
sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar hak (piutang ) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.
3.
Sedangkan
Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefenisikan rahn dengan :
Artinya :
Menjadikan materi (barang) sebagai
jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayaran utang apabila orang yang
berutang tidak bisa membayar utangnya
itu.
Definisi
yang dikemukakakn Syafiiyah dan Hanabilah ini mengandung pengertian bahwa
barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanyalah harta yang bersifat
materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah,
sekalipun sebenarnya manfaat itu, menurut mereka ( Syafiiyah dan Hanabilah),
termasuk pengertian harta.[4]
Sejalan
dengan pengertian di atas, menurut Muhammad Syafi’I Antonio, ar-rahn adalah menahan harta salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Menurut Masjfuk Zuhdi,
ar-rahn adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam
dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang. Sementara menurut al-Ustad
H.Idris Ahmad berpandangan, ar-rahn
adalah menjadikan harta benda
sebagai jaminan atas utang.[5]
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar
Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar
berpendapat bahwa definisi rahn adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan
menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman
berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya”. Dalam
buku lain didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan
pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada
pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan
pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu.[6]
Sedangkan menurut S.A Hakim, yang mengatakan jual gadai ialah penyerahan
tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, demikian rupa sehingga
yang menyerahkan tanah itu, masih mempunyai hak untuk mengembalikan tanah itu
kepadanya dengan pembayaran kembali sejumlah uang yang tersebut.
Dengan demikian gadai menurut syariat Islam berarti penahanan
atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua belah
pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan
yang berpiutang bertanggug jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila
utang telah dibayar maka pemahaman oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya
bebas dari tanggung jawab dan kewajiban masing-masing.
B. Dasar Hukum Rahn[7]
1. Dalam al-quran
Para ulama fiqih mengemukakan bahwa
akad rahn dibolehkan dalam islam
bedasarkan al-quran dan sunnah rasul. Dalam surah al-Baqarah, 2:283 Allah
berfirman :
Artinya
:
Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [180] (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Para
ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan
dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa langsung
dipegang/dikuasai secara hukum oleh si piutang. Maksudnya, karena tidak semua
barang jaminan bisa dipegang / dikuasai oleh si pemberi piutang secara
langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang
dalam status al-Marhun (menjadi jaminan hutang). Misalnya, apabila
barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat
jaminan tanah itu.
2. Dalam al-hadis
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa
:
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عِيسَى
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ
الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ
وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin 'Isa telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy
dari Ibrahim dari Al aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari orang Yahudi
secara angsuran dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau".
Menurut
kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul saw. me-rahn-kan baju besinya
itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh
Rasulullah saw. Berdasarkan ayat dan hadis diatas, para ulama fiqh sepakat
mengatakan bahwa akad ar- rahn itu dibolehkan, karena banyak
kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama
manusia.
3. Ijma
Para
ulama telah menyepakati bahwa al-rahn boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini
didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan
saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan.
Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di
dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kebutuhan umatnya.
C. Rukun dan Syarat Rahn[8]
Dalam
melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
pekerjaan,"sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk)
yang harus diindahkan dan dilakukan."
Dalam
syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu
transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah
atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu."
Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum
syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan
hukum pun tidak ada." Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama
Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan
hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat
yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu
sendiri.
1.
Shigat (lafal ijab dan qabul)
yaitu
pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis
maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian
gadai diantara para pihak.
- ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin
(pemberi hutang)
Syarat seorang ar
Rahin dan al Murtahin yaitu:
a. tidak gila, tidak mabuk
b. Dewasa, baligh
c.
Berakal
d. Mumayyis
e. Cakap hukum
3. al-Marhun
(harta yang dijadikan jaminan)
Para ulama fiqih sepakat
mensyaratkan marhun sebagaimana
persyaratan barang dalam jual beli. Menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun
sebagai berikut:
a. dapat diperjualbelikan
b. bermanfaat dapat diperjualbelikan
c. bermanfaat, jelas
d. milik rahin
e. dipegang (dikuasai) oleh rahin
f. bisa diserahkan
g. tidak bersatu dengan harta lain
h. harta yang tetap atau dapat
dipindahkan
4. Al-marhunbih (utang)
Sedangkan
ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan
oleh pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan
menerima barang anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk
sempurna dan mengikatnya akad rahn ini,
maka di perlukan al-qabd
(penguasaan barang). Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta yang
dijadikan agunan, dan utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk
syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
Para ulama fiqih mengemukakan
syarat-syarat rahn sesuai dengan
rukun rahn itu sendiri. Syarat-syarat
rahn itu sendiri melputi [10]:
a. Syarat yang berkenaan
dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Orang dianggap telah
cakap hukum untuk bertindak sendiri yaitu : mereka mencapai umur 21 tahun atau
lebih atau telah kawin terlebih dahulu sebelum mencapai umur 21 tahun, dan bisa
juga dengan jalan handlicting (pernyataan
dewasa). Kemudian menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang telah baligh dan
berakal, sedangkan menurut ulama Hanafiyah cukup berakal saja (seperti anak
yang masih mumayyis) dengan catatan dalam akadnya harus mendapat persetujuan
dari walinya.
b. Syarat sigat atau (lafal), ulama Hanafiyah
mengatakan dalam akad ar-rahn itu
tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang, karena akad gadai sama dengan jual beli. Apabila akad itu disertai
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka
syaratnya batal, sedangkan akad sah misalnya orang yang berutang apabila
tenggang waktu utang telah habis ( jatuh tempo) dan utang belum dibayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan,
atau pemberi utang itu mensyaratkan bahwa harta agunan itu boleh dimanfaatkan.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila syarat itu
adalah syarat yang mendukung kelancaran akad, maka syarat diperbolehkan, tetapi
apabila syarat itu bertentangan dengan tabi’at rahn maka syarat akan batal. Adapun syarat yang diperbolehkan,
misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu
pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
c. Syarat al-marhun bihi (utang) adalah: merupakan
hak yang wajib dikembalikan kepada orang berutang, utang itu boleh dilunasi
oleh agunan, utang itu jelas dan tertentu.
d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan),
menurut para fiqih adalah barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dengan
utang, barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dimanfaatkan, barang jaminan
itu harus jelas dan tertentu, agunan itu milik sah orang yang berutang dan
tidak terkait dengan hak orang lain, barang jaminan itu merupakan barang yang
utuh dan tidak terpisah-pisah , dan ia dapat diserahkan baik materinya maupun
manfaatnya.
Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fiqih sepakat
menyatakan bahwa ar-rahn itu baru
dianggap sempurna apabila barang yang di rahn-kan
itu secara hukum sudah berada ditangan pemberi utang. Dan uang yang dibutuhkan
telah diterima peminjam uang. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak
seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang diberikan,
tetapi cukup surat jaminan tanah atau surat-surat tanah yang diberikan kepada
orang yang memberi piutang.
Syarat yang terakhir demi kesempurnaan ar-rahn adalah bahwa barang jaminan
itu dikuasai secara hukum oleh pemberi hutang. Syarat ini menjadi penting
karena Allah dalam Q.S. al-Baqarah:283 menyatakan barang jaminan itu dipegang
atau dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang . Apabila barang jaminan itu telah dikuasai
oleh pemberi hutang, maka akad rahn bersifat
mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan
barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan
dapat dijual dan utang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu
ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.
D. Pemanfaatan Rahn[11]
Para ulama fiqih sepakat menyatakan
bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu
menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berhutang. Hal ini sejalan
dengan sabda Rasulullah yang mengatakan :
Artinya
:
. . . . . pemilik barang jaminan (angunan ) berhak atas
segala hasil barang jaminan dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya
barang jaminan itu. (HR. asy-Syafii dan ad-Daruquthni ).
Para ulama fiqih juga sepakat mengatakan
bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu
saja, tanpa menghasilkan sama sekali, kerena itu termasuk tindakan yang
menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah saw. ( HR. at-Tirmizi). Akan
tetapi, bolehkah pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan itu,
sekalipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan ? Dalam persoalan ini
terjadi perbedaan pendapat para ulama.
Jumhur ulama fiqih berpendapat
bahwa, pemegang barang jamianan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu,
karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan
terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan
apabila orang yang berutang itu tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh
menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya. Alasan jumhur
ulama ini adalah sabda Rasulullah saw. Yang berbunyi :
Artinya
:
Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya,
karena hasil ( dari barang jaminan ) dan resiko (yang ditimbulkan atas barang
itu) menjadi tanggung jawabnya. (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari
Abu Hurairah).
Akan
tetapi apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan
barang itu selama ditangannya, maka sebagaian ulama Hanafiyah membolehkannya,
karena dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan
untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya,
ulama Malikiyah, dan ulama Syafiiyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu
mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan
itu.
Karena,
apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan
riba. Sekalipun diizinkan dan diridhai pemilik barang. Bahkan menurut mereka,
rida dan izin dalam hal ini cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir
tidak akan mendapat uang yang akan dipinjam itu.
Persoalan
lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang ternak.
Menurut sebagian ulama Hanafiyah, al-murtahin
boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya.
Ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan sebagian ulama Hanafiyah berpendirian bahwa
apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus pemiliknya, maka al-murtahin boleh memanfaatkannya, baik
seizin pemiliknya maupun tidak, karena membiarkan hewan itu tersia-sia,
termasuk ke dalam larangan Rasulullah saw.
Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka
pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya,
sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang
jaminan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang mengatakan:
Artinya:
Dari
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: hewan yang dijadikan
barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu
dari kambing yang dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib)
dikeluarkan biayanya. (HR al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud).
Akan
tetapi, menurut ulama Hanabilah, apabila barang jaminan itu bukan hewan atau
sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah, maka pemegang
barang jaminan tidak boleh memanfaatkannya. Ulama Hanafiyah mengatakan apabila
barang jaminan itu hewan ternak, maka pihak pemberi piutang (pemegang barang
jaminan) boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik
barang. Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi'iyah mengatakan bahwa kebolehan memanfaatkan
hewan ternak yang dijadikan barang jaminan oleh pemberi piutang, hanya apabila
hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh pemiliknya.
Di
samping perbedaan pendapat di atas, para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam
pemanfaatan barang jaminan itu oleh rahin (pemilik barang/pemberi
barangh gadai). Ulama Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan pemilik barang boleh
memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan itu, jika diizinkan al-murtahin
(penerima gadai). Mereka berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari
barang jaminan menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini
sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi,
dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah di atas. Oleh sebab itu, apabila kedua belah
pihak ingin memanfaatkan barang itu, haruslah mendapat izin dari pihak lainnya.
Apabila barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkannya bertanggung
jawab membayar ganti ruginya.
Ulama
Syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari pendapat ulama
Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena apabila pemilik barang itu ingin
memanfaatkan al-marhun (barang jaminan), tidak perlu ada izin dari
pemegang al-marhun (barang jaminan). Alasannya, barang itu adalah miliknya
dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak
miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan al-marhun (barang jaminan) tidak
boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Oleh
sebab itu, apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan
pemiliknya, maka pemilik bertanggung jawab untuk itu. Hal ini sejalan dengan
sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Daud
dari Abu Hurairah di atas.
Berbeda
dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah berpendapat bahwa pemilik
barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun (barang jaminan), baik
diizinkan oleh al-murtahin (pemegang gadai) maupun tidak. Karena, barang
itu berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak pemilik secara penuh.
Menurut
Fathi ad-Duraini, kehati-hatian para ulama fiqh dalam menetapkan hukum
pemanfaatan al-marhun (barang jaminan), baik oleh rahin (pemilik
barang/pemberi gadai) maupun oleh al-murtahin (penerima gadai) bertujuan
agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba. Karena,
hakikat ar-rahn (gadai) dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa
imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong. Oleh sebab itu, para
ulama fiqh menyatakan bahwa apabila ketika berlangsungnya akad kedua belah pihak
menetapkan syarat bahwa kedua belah pihak boleh memanfaatkan al-marhun (barang
gadai), maka akad ar-rahn (gadai) itu dianggap tidak sah, karena hal ini
dianggap bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn (gadai) itu sendiri.
Ar-rahn
(gadai)
yang dikemukakan para ulama fiqh klasik hanya bersifat pribadi. Artinya, utang
piutang itu hanya terjadi antara seorang yang memerlukan dengan seseorang yang
memiliki kelebihan harta.
Di
zaman sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, ar-rahn (gadai)
tidak saja berlaku antar pribadi, melainkan juga antara pribadi dengan
lembaga-lembaga keuangan, seperti bank. Untuk mendapatkan kredit dari lembaga
keuangan, pihak bank juga menuntut barang jaminan yang boleh dipegang bank
sebagai jaminan atas kredit itu. Barang jaminan ini, dalam istilah bank disebut
dengan personal guarantee.
E. Berakhirnya Rahn
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak
boleh ada syarat-syarat, semisal ketika akad gadai diucapkan “apabila rahin
tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun
(jaminan) menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab
ada kemungkinan pada waktu pembayaran telah ditentukan untuk membayar utang
harga marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin (orang yang memberikan jaminan) yang harus
dibayar, yang mengakibatkan kerugian pada pihak murtahin. Sebaliknya ada
kemungkinan juga harga marhun pada
waktu pembayaran lebih besar jumlahnya dari pada utang yang harus dibayar, yang
akibatnya akan merugikan rahin.
Apabila syarat diatas diadakan dalam akad gadai, akad gadai tetap sah
tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan, rahin
belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual jaminan atau marhun, pembeliannya boleh murtahin
(orang yang menerima) itu sendiri atau yang lain tetapi harus dengan harga yang
umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya,
dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah
utangnya, sisanya dikembalikan pada rahin. Sebaliknya, harga penjualan marhun
kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran
kekurangannya. Berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang
artinya “Rahn itu tidak boleh dimiliki, rahn itu milik orang yang
menggadaikan. Ia berhak atas keuntungan
dan kerugiannya.”[12]
Dapat
disimpulkan bahwa akad rahn berakhir
dengan hal-hal sebagai berikut [13]:
a) Barang gadai telah
diserahkan kembali pada pemiliknya
b) Rahin telah membayar hutangnya
c) Pembebasan hutang
dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin
d) Pembatalan oleh murtahin meskipun tidak ada persetujuan
dari pihak rahin
e) Rusaknya barang rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin
Setiap ada awal pasti ada akhir, setiap permasalahan pasti ada
penyelesaian. Begitu juga dengan gadai pasti akan ada pula hapus atau
berakhirnya hak gadai. Berakhirnya persetujuan gadai adalah merupakan rentetan,
setelah terlaksananya persetujuan.
Mengenai cara
berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata adalah sebagai
berikut:
1. Hak
gadai hapus apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.
2. Hak gadai hapus apabila
barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.
3. Apabila sudah dilepaskan
oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri dari penerima
gadai maka penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada pemberi gadai.
4. Karena persetujuan gadai
bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka dengan sendirinya
gadai pun berakhir.
5. Bila barang yang
digadaikan musnah atau terbakar diluar kehendak atau kemampuan pemegang gadai..
6. Barang
gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas kesepakatan atau persetujuan
dari si pemberi gadai (pengalihan hak milik atas kesepakatan).
Berakhirnya gadai dapat juga berakhir apabila
tanah gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka perjanjian gadai
berakhir dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya kembali
dari penggadai. Benda gadai dilepaskan dari penguasaan pemberi gadai (debitur),
maka benda gadai harus dialihkan dalam penguasaan Perum Pegadaian (kreditur).
Berdasarkan Pasal 1152
ayat (4) KUH Perdata dijelaskan si kreditur (pemegang gadai) akan tetap
mendapatkan hak gadai tersebut meskipun si pemberi gadai(debitur) bukanlah
orang yang memiliki barang tersebut.dalam kasus ini, pegadaian sebagai pemegang
gadai kreditur beritikad baik, sehingga kreditur tersebut yang telah menerima
benda gadai orang lain yang berstatus sebagai detentor dari benda yang
digadaikan, tetap mendapatkan hak gadai secara sah atas benda itu.
Karena kreditur pemegang gadai(pegadaian) dilindungi terhadap pemilik (eigenaar dari
benda gadai).[14]
BAB III
KESIMPULAN
Dari sepenggal
pembahasan diatas, dapat kita ketahui bahwa pengartian Rahn menurut syariat Islam
berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai
menggadai, kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang
bertanggung jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug jawab
menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar maka pemahaman
oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari tanggung jawab dan
kewajiban masing-masing.
Dasar hukum rahn itu sendiri diambil dari Al-Qur’an
dan sunnah Rasullah SAW dan ulama Fiqih sepakat mengatakan bahwa akad
rahn itu dibolehkan karena banyak kemasyalatan yang terkandung didalamnya dalam
rangka hubungan antara sesama manusia.
Rukun dan Syarat Rahn itu
meliputi :
1) Shigat (lafal ijab dan qabul)
2) ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin
(pemberi hutang)
3) al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)
4)
Al-marhunbih (utang)
Syarat Rahn
1. Aqid, kedua orang yang
akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyahyaitu orang yang
telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan
harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh
berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
- Shighat,
ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai
syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli,
jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
- Marhun
bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan
syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim
pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
[1]
Ghufron A.Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 175-176
[2]
Wahbah al-zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami
Wa Adilatuhu (Damaskus: Dar al-fiqr al Mua’sshim,2005), Jilid VI, cet. Ke-8,
hal, 4207.
[3] DR.H.Nasrun Haroen, MA, Fiqih
Muamalah, Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2000, hlm 252
[4] DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm
252
[5] http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1-2006-nurasiah21-888-BAB2_210-1.pdf (diakses kamis, 15 oktober 2015,
pukul 13.40)
[6] Ibid hlm 88
[7]
DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm 260
[8] DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm
256
[9] https://mbuzzley.files.wordpress.com/2012/09/gadai-revisi.doc (diakses
kamis, 15 oktober 2015, pukul 14.20)
[10] DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm
258
[11] DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm
260
[12] Abdul Ghofur Anshori, Gadai
Syariah di Indonesia, UGM press Yogyakarta,.hlm 98