Minggu, 25 Oktober 2015

MAKALAH RAHN (GADAI)

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia pada saat sekarang ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.
B. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian Rahn ?
b. Apakah Dasar Hukum Rahn ?
c. Bagaimanakah Rukun dan Syarat Rahn ?
d. Bagaimanakah Pemanfaatan barang Rahn ?
e. Bagaimanakah Berakhirnya Rahn ?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian  Rahn
b. Untuk mengetahui Dasar Hukum Rahn
c. Untuk mengetahui Rukun dan Syarat  Rahn
d. Untuk mengetahui Pemanfaatan Barang Rahn
e. Untuk mengetahui Berakhirnya Rahn


BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Rahn
            Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai angunan ( jaminan). Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin. [1]
            Secara etimologi, kata  ar-Rahn berarti atsubutu wa dawamu artinya tetap kekal, atau al-habsu wa lazumu artinya pengekangan dan keharusan dan juga bisa berarti jaminan. Dalam Islam ar-rahn merupakan sarana tolong-menolong bagi umat islam.[2]
            Sedangkan secara terminology para ulama fiqih mendefisikannya sebagai berikut [3]:
1.      Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan :



Artinya :
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
            Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan ( angunan ) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara actual, tetapi boleh juga penyerahan secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya.
2.      Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan :





Artinya :
Menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang ) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.
3.      Sedangkan Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefenisikan rahn dengan :



Artinya :
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa  membayar utangnya itu.
Definisi yang dikemukakakn Syafiiyah dan Hanabilah ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanyalah harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu, menurut mereka ( Syafiiyah dan Hanabilah), termasuk pengertian harta.[4]
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Muhammad Syafi’I Antonio, ar-rahn  adalah menahan harta salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Menurut Masjfuk Zuhdi, ar-rahn  adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang. Sementara menurut al-Ustad H.Idris Ahmad  berpandangan, ar-rahn  adalah  menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.[5]
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya”. Dalam buku lain didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu.[6]
Sedangkan menurut S.A Hakim, yang mengatakan jual gadai ialah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, demikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu, masih mempunyai hak untuk mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran kembali sejumlah uang yang tersebut.
Dengan demikian gadai menurut syariat Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar maka pemahaman oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari tanggung jawab dan kewajiban masing-masing.
B. Dasar Hukum Rahn[7]
1. Dalam al-quran
            Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan dalam islam bedasarkan al-quran dan sunnah rasul. Dalam surah al-Baqarah, 2:283 Allah berfirman :
                       



Artinya :
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [180] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh si piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan bisa dipegang / dikuasai oleh si pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-Marhun (menjadi jaminan hutang). Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.
2. Dalam al-hadis
            Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa :
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ  
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin 'Isa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Ibrahim dari Al aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari orang Yahudi secara angsuran dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau".
Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul saw. me-rahn-kan baju besinya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat dan hadis diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar- rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.



3. Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa al-rahn  boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kebutuhan umatnya.
C. Rukun dan Syarat Rahn[8]
            Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,"sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."
Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu." Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada." Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri.
            Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu [9]:
1.      Shigat (lafal ijab dan qabul)
yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
  1. ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin (pemberi hutang)
Syarat seorang ar Rahin dan al Murtahin yaitu:
a.       tidak gila, tidak mabuk
b.      Dewasa, baligh
c.       Berakal
d.      Mumayyis
e.       Cakap hukum
3.  al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)
Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual beli. Menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun sebagai berikut:
a.       dapat diperjualbelikan
b.      bermanfaat dapat diperjualbelikan
c.       bermanfaat, jelas
d.      milik rahin
e.       dipegang (dikuasai) oleh rahin
f.       bisa diserahkan
g.      tidak bersatu dengan harta lain
h.      harta yang tetap atau dapat dipindahkan
4. Al-marhunbih (utang)
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang  dan menerima  barang anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini, maka  di perlukan al-qabd (penguasaan barang). Adapaun kedua orang  yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
            Para ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat rahn sesuai dengan rukun rahn itu sendiri. Syarat-syarat rahn itu sendiri melputi [10]:
a. Syarat yang berkenaan dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Orang dianggap telah cakap hukum untuk bertindak sendiri yaitu : mereka mencapai umur 21 tahun atau lebih atau telah kawin terlebih dahulu sebelum mencapai umur 21 tahun, dan bisa juga dengan jalan handlicting (pernyataan dewasa). Kemudian menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan menurut ulama Hanafiyah cukup berakal saja (seperti anak yang masih mumayyis) dengan catatan dalam akadnya harus mendapat persetujuan dari walinya.
b. Syarat sigat atau (lafal), ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad ar-rahn itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena akad gadai sama dengan jual beli. Apabila akad itu disertai dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akad sah misalnya orang yang berutang apabila tenggang waktu utang telah habis ( jatuh tempo) dan utang belum dibayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau pemberi utang itu mensyaratkan bahwa harta agunan itu boleh dimanfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad, maka syarat diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabi’at rahn maka syarat akan batal. Adapun syarat yang diperbolehkan, misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
c. Syarat al-marhun bihi (utang) adalah: merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang berutang, utang itu boleh dilunasi oleh agunan, utang itu jelas dan tertentu.
d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para fiqih adalah barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dengan utang, barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dimanfaatkan, barang jaminan itu harus jelas dan tertentu, agunan itu milik sah orang yang berutang dan tidak terkait dengan hak orang lain, barang jaminan itu merupakan barang yang utuh dan tidak terpisah-pisah , dan ia dapat diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang di rahn-kan itu secara hukum sudah berada ditangan pemberi utang. Dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang diberikan, tetapi cukup surat jaminan tanah atau surat-surat tanah yang diberikan kepada orang yang memberi piutang.
Syarat yang terakhir demi kesempurnaan ar-rahn  adalah bahwa barang jaminan itu dikuasai secara hukum oleh pemberi hutang. Syarat ini menjadi penting karena Allah dalam Q.S. al-Baqarah:283 menyatakan barang jaminan itu dipegang atau dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang .  Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.
D. Pemanfaatan Rahn[11]
            Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berhutang. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah yang mengatakan :



Artinya :
. . . . . pemilik barang jaminan (angunan ) berhak atas segala hasil barang jaminan dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya barang jaminan itu. (HR. asy-Syafii dan ad-Daruquthni ).
            Para ulama fiqih juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, kerena itu termasuk tindakan yang menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah saw. ( HR. at-Tirmizi). Akan tetapi, bolehkah pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan itu, sekalipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan ? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat para ulama.
            Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa, pemegang barang jamianan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila orang yang berutang itu tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya. Alasan jumhur ulama ini adalah sabda Rasulullah saw. Yang berbunyi :



Artinya :
Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil ( dari barang jaminan ) dan resiko (yang ditimbulkan atas barang itu) menjadi tanggung jawabnya. (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah).
Akan tetapi apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama ditangannya, maka sebagaian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama Malikiyah, dan ulama Syafiiyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu.
Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba. Sekalipun diizinkan dan diridhai pemilik barang. Bahkan menurut mereka, rida dan izin dalam hal ini cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapat uang yang akan dipinjam itu.
Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, al-murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya. Ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan sebagian ulama Hanafiyah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus pemiliknya, maka al-murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak, karena membiarkan hewan itu tersia-sia, termasuk ke dalam larangan Rasulullah saw.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya, sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang mengatakan:




Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya. (HR al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud).
            Akan tetapi, menurut ulama Hanabilah, apabila barang jaminan itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah, maka pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkannya. Ulama Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu hewan ternak, maka pihak pemberi piutang (pemegang barang jaminan) boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik barang. Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi'iyah mengatakan bahwa kebolehan memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan oleh pemberi piutang, hanya apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh pemiliknya.          
Di samping perbedaan pendapat di atas, para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu oleh rahin (pemilik barang/pemberi barangh gadai). Ulama Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan itu, jika diizinkan al-murtahin (penerima gadai). Mereka berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah di atas. Oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin memanfaatkan barang itu, haruslah mendapat izin dari pihak lainnya. Apabila barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkannya bertanggung jawab membayar ganti ruginya.
Ulama Syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena apabila pemilik barang itu ingin memanfaatkan al-marhun (barang jaminan), tidak perlu ada izin dari pemegang al-marhun (barang jaminan). Alasannya, barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan al-marhun (barang jaminan) tidak boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Oleh sebab itu, apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan pemiliknya, maka pemilik bertanggung jawab untuk itu. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Daud dari Abu Hurairah di atas.
Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun (barang jaminan), baik diizinkan oleh al-murtahin (pemegang gadai) maupun tidak. Karena, barang itu berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak pemilik secara penuh.
Menurut Fathi ad-Duraini, kehati-hatian para ulama fiqh dalam menetapkan hukum pemanfaatan al-marhun (barang jaminan), baik oleh rahin (pemilik barang/pemberi gadai) maupun oleh al-murtahin (penerima gadai) bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba. Karena, hakikat ar-rahn (gadai) dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong. Oleh sebab itu, para ulama fiqh menyatakan bahwa apabila ketika berlangsungnya akad kedua belah pihak menetapkan syarat bahwa kedua belah pihak boleh memanfaatkan al-marhun (barang gadai), maka akad ar-rahn (gadai) itu dianggap tidak sah, karena hal ini dianggap bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn (gadai) itu sendiri.
Ar-rahn (gadai) yang dikemukakan para ulama fiqh klasik hanya bersifat pribadi. Artinya, utang piutang itu hanya terjadi antara seorang yang memerlukan dengan seseorang yang memiliki kelebihan harta.
Di zaman sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, ar-rahn (gadai) tidak saja berlaku antar pribadi, melainkan juga antara pribadi dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti bank. Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan, pihak bank juga menuntut barang jaminan yang boleh dipegang bank sebagai jaminan atas kredit itu. Barang jaminan ini, dalam istilah bank disebut dengan personal guarantee.
E. Berakhirnya Rahn
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh ada syarat-syarat, semisal ketika akad gadai diucapkan “apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun (jaminan) menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin  (orang yang memberikan jaminan) yang harus dibayar, yang mengakibatkan kerugian pada pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran lebih besar jumlahnya dari pada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan rahin.
Apabila syarat diatas diadakan dalam akad gadai, akad gadai tetap sah tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan, rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual jaminan atau marhun, pembeliannya boleh murtahin (orang yang menerima) itu sendiri atau yang lain tetapi harus dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utangnya, sisanya dikembalikan pada rahin. Sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya. Berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang artinya “Rahn itu tidak boleh dimiliki, rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak  atas keuntungan dan kerugiannya.”[12]
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut [13]:
a)     Barang gadai telah diserahkan kembali pada pemiliknya
b)     Rahin telah membayar hutangnya
c)     Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin
d)     Pembatalan oleh murtahin meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin
e)     Rusaknya barang rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin
 Setiap ada awal pasti ada akhir, setiap permasalahan pasti ada penyelesaian. Begitu juga dengan gadai pasti akan ada pula hapus atau berakhirnya hak gadai. Berakhirnya persetujuan gadai adalah merupakan rentetan, setelah terlaksananya persetujuan. 
Mengenai cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut:
1.      Hak gadai hapus apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.
2.      Hak gadai hapus apabila barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.
3.      Apabila sudah dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri dari penerima gadai maka penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada pemberi gadai.
4.      Karena persetujuan gadai bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka dengan sendirinya gadai pun berakhir.
5.      Bila barang yang digadaikan musnah atau terbakar diluar kehendak atau kemampuan pemegang gadai..
6.      Barang gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas kesepakatan atau persetujuan dari si pemberi gadai (pengalihan hak milik atas kesepakatan).
Berakhirnya gadai dapat juga berakhir apabila tanah gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka perjanjian gadai berakhir dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya kembali dari penggadai. Benda gadai dilepaskan dari penguasaan pemberi gadai (debitur), maka benda gadai harus dialihkan dalam penguasaan Perum Pegadaian (kreditur).
Berdasarkan Pasal 1152 ayat (4) KUH Perdata dijelaskan si kreditur (pemegang gadai) akan tetap mendapatkan hak gadai tersebut meskipun si pemberi gadai(debitur) bukanlah orang yang memiliki barang tersebut.dalam kasus ini, pegadaian sebagai pemegang gadai kreditur beritikad baik, sehingga kreditur tersebut yang telah menerima benda gadai orang lain yang berstatus sebagai detentor dari benda yang digadaikan, tetap mendapatkan  hak gadai secara sah atas benda itu. Karena kreditur pemegang gadai(pegadaian) dilindungi terhadap pemilik (eigenaar dari benda gadai).[14]













BAB III
KESIMPULAN
Dari sepenggal pembahasan diatas, dapat kita ketahui bahwa pengartian Rahn menurut syariat Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar maka pemahaman oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari tanggung jawab dan kewajiban masing-masing.
  Dasar hukum rahn itu sendiri diambil dari Al-Qur’an dan sunnah  Rasullah SAW dan ulama Fiqih sepakat mengatakan bahwa akad rahn itu dibolehkan karena banyak kemasyalatan yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antara sesama manusia.
Rukun dan Syarat Rahn itu meliputi :
1) Shigat (lafal ijab dan qabul)
2) ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin (pemberi hutang)
3) al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)
4) Al-marhunbih (utang)
Syarat Rahn
1.      Aqid, kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyahyaitu orang yang  telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
  1. Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
  2. Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.






[1] Ghufron A.Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 175-176
[2] Wahbah al-zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu (Damaskus: Dar al-fiqr al Mua’sshim,2005), Jilid VI, cet. Ke-8, hal, 4207.
[3] DR.H.Nasrun Haroen, MA, Fiqih Muamalah, Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2000, hlm 252
[4] DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm 252
[6] Ibid hlm 88
[7] DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm 260

[8] DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm 256
[9] https://mbuzzley.files.wordpress.com/2012/09/gadai-revisi.doc (diakses kamis, 15 oktober 2015, pukul 14.20)

[10] DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm 258
[11] DR.Nasrun Haroen, MA. Opcit, hlm 260

[12] Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, UGM press Yogyakarta,.hlm 98

[13] http://kaskus.us/showthread.php. (diakses, kamis, 15 oktober 2015, pukul 15.10 )
[14] http://kaskus.us/showthread.php. (diakses, kamis, 15 oktober 2015, pukul 15.10 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar