PERADABAN ISLAM RASULULLAH PERIODE MADINAH
A.PENDAHULUAN
Kebudayaan Islam
periode Nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua periode, yakni periode Makkah dan
periode Madinah. Periode Makkah dimulai dengan diangkatnya Nabi Muhammad SAW
menjadi Rasul dan mendapatkan wahyu dari Allah SWT yang isinya menyeru manusia
untuk beribadah kepada Allah SWT yaitu menegakkan Tauhid dan dasar-dasar Islam.
Namun hal tersebut mendapat tantangan yang besar dari kalangan kaum Quraisy.[1]
Karena pada masa itu
kaum Quraisy mempunyai sesembahan lain yaitu berhala-berhala yang
dibuat oleh mereka sendiri. Karena keadaan yang demikian itulah, dakwah pertama
yang dilakukan di Makkah dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terlebih karena
jumlah orang yang masuk Islam sangat sedikit. Keadaan ini berubah ketika jumlah
orang yang memeluk Islam semakin hari semakin banyak, Allah SWT pun
memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk melakukan dakwah secara terang-terangan.
Bertambahnya penganut agama baru
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, membuat kaum Quraisy menjadi gelisah dan
terancam. Karena hal inilah mereka berusaha dengan semaksimal mungkin
mengganggu dan menghentikan dakwah tersebut. Dengan cara diplomasi dan
kekerasan yang mereka lakukan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya.
Akibat kekerasan yang dilakukan oleh kaum Quraisy maka Allah
SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk berhijrah ke Madinah. Pada periode
Madinah inilah babak kemajuan Islam dimulai. Pada periode ini Nabi Muhammad SAW
berhasil membangun dan membina masyarakat Islam yang kuat.
Berdasarkan uraian diatas maka dalam makalah ini penulis
akan membahas tentang Peradaban Islam Rasulullah SAW Periode Makkah (622-632 M
) serta kajian-kajian lain yang berkaitan tentangnya.
B.
PEMBAHASAN
1.
Arti Hijrah Nabi ke Madinah
Hijrah menurut bahasa berasal dari bahasa latin
yaitu ”hegira” dan dikenal dalam bahasa arab هجر- يهجر- هجرة yang berarti memutuskan hubungan dengan
orang lain. Dari pengertian menurut bahasa tersebut dapat dipahami bahwa hijrah
pada dasarnya dimaksudkan untuk menyingkirkan diri dari tindakan-tindakan dan
teror yang bersifat fisik yang dapat mencelakan diri sendiri.
Sementara itu Philip K. Hitti mengemukakan
bahwa hijrah menurut istilah adalah akhir periode mekkah dan awal dimulainya
periode madinah yang merupakan kebalikan dari hidup Nabi Muhammad saw. Dia
meninggalkan kota besar tempatnya dilahirkan dan dibesarkan karena sangat
meremehkannya, kemudian ia masuk kota besar yang mengangkatnya sebagai seorang
pemimpin yang terhormat. Sementara hijrah menurut Nurcholis Madjid adalah tekad
dalam meninggalkan kepalsuan, pindah sepenuhnya kepada kebenaran, dengan
kesediaan untuk berkorban dan menderita, kerena keyakinan kemenangan terakhir
akan dianugrahkan Allah kepada pejuang kebenaran itu.[2]
Jadi pengertian hijrah dalam hal ini menyangkut
aspek spiritual dan kejiwaan, yakni suatu tekad yang tidak mengenal kalah dalam
menegakkan kebenaran. Selama 13 tahun hidup di kota Mekkah. Nabi Muhammad saw
Serta para pengikutnya sering mengalami cobaan besar dan siksaan yang sangat
pedih, disamping itu hak kemerdekaan mereka dirampas, mereka diusir dan harta
benda mereka disita. Siksaan pedih berupa dera cambuk sangat meresahkan para
sahabat dan kaum muslimin pada umumnya.Tekanan yang sangat dahsyat dialami
Rasulullah beserta pengikutnya selama menyampaikan dakwah demi tersebarnya
risalah tauhid di tengah-tengah kaum kafir Quraisy.
Namun ancaman dan tindakan kekerasan yang
dialami Nabi Muhammad saw tersebut masih bisa dilalui dengan penuh kesabaran
dan keteguhan iman. Tekanan itu baru dirasakan sangat meresahkan bagi Nabi
Muhammad saw. Setelah Khadijah, istri Nabi Muhammad saw meninggal dunia, dirinya
telah kehilangan istri tercinta tempat curahan kasih sayangnya. Kesedihan itu
kembali bertambah setelah tidak lama berselang paman Rasulullah saw yaitu Abu Thalib
juga bepulang ke rahmatullah. Kematian Abu Thalib ini menyebabkan Nabi Muhammad
saw telah kehilangan pelindung setia yang senantiasa melindunginya dari
berbagai macam ancaman. Kepergian Abu Thalib untuk selama-lamanya ini telah
memberi peluang kepada kaum kafir Quraisy untuk tidak segan-segan melakukan
tindakan kekerasan kepada Rasulullah saw berserta para pengikutnya.
Kaum
musyrikin Quraisy semakin gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin.
Pada tahun kenabian yang ke-13 di mana pada waktu itu bertepatan dengan tahun
622 M, jamaah Yastrib datang kembali ke kota Mekkah untuk melaksanakan ibadah
haji. Jamaah tersebut berjumlah sekitar 73 orang. Setibanya di kota Mekkah
mereka menemui Nabi Muhammad SAW dan atas nama penduduk Yastrib mereka
menyampaikan pesan untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW[3].
Pesan itu berupa permintaan masyarakat Yastrib agar Nabi Muhammad SAW bersedia
datang ke kota Mekkah memberikan penerangan tentang ajaran Islam dan
sebagainya. Permohonan itu dikabulkan Nabi Muhammad SAW dan beliau menyatakan
kesediaannya untuk datang dan berdakwa di sana. Untuk memperkuat kesepakatan
itu, mereka mengadakan perjanjian kembali di Bukit Aqabah atau yang dikenal
dengan perjanjian Aqabah ke II[4].
Adapun isi perjanjian Aqabah ke II ini adalah :
1.
Penduduk Yastrib siap dan bersedia melindungi
Nabi Muhammad SAW.
2.
Penduduk Yastrib ikut berjuang dalam membela
Islam dengan harta dan jiwa.
3.
Penduduk Yastrib ikut berusaha memajukan Agama
Islam dan menyiarkan kepada sanak saudara mereka.
4.
Penduduk Yastrib siap menerima segala resiko
dan tantangan.
Dengan keputusan tersebut maka terbukalah
dihadapan Nabi Muhammad SAW harapan baru untuk memperoleh kemenangan karena
telah mendapat jaminan bantuan dan perlindungan dari masyarakat Yastrib. Hal ini
membuat Nabi Muhammad saw segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke
Yastrib. Dalam waktu dua bulan hampir semua kaum muslimin sekitar 150 orang
telah meninggalkan kota Mekkah.
Dalam perjalanan ke Yastrib Nabi ditemani Abu
Bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar 5 km dari
Yastrib, Nabi beristirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum
bin Hindun. Di halaman rumah inilah Nabi Membangun sebuah Masjid. Inilah Masjid
pertama yang dibangun Nabi, sebagai pusat peribadatan yang dikenal sebagai
Masjid Quba[5].
Tak lama kemudian, waktu yang mereka tunggu itu
tiba. Nabi memasuki kota Yastrib dan penduduk kota sangat bergembira. Sejak
itu, sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yastrib diubah menjadi Madinatul
Nabi (kota Nabi) atau yang sering disebut Madinatul Munawarah (Kota
yang Bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia.
Menurut al-Faruqi bahwa yang melatar belakangi
hijrah Rasulullah saw ke Madinah adalah gerakan untuk mencari keselamatan. Dan
ini merupakan upaya untuk mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai titik
tolak bagi perkembangan keimanan baru sekaligus untuk menata ulang masyarakat
muslim, baik sebagai tatanan sosial maupun Negara. Hal tersebut dipertegas oleh
Abdullah al-Hatib, bahwa hijrah selain penghindaran dari fitnah dan cobaan, juga untuk menjalin ikatan yang kuat,
menghimpun kekuatan, memperoleh daerah strategis untuk membentuk suatu kekuatan
politik[6].
Sedangkan menurut Ali Syariati bahwa hal lain
yang mendorong hijranya Nabi Muhammad saw. Dan kaum Muslimin ke Madinah, Pertama, mengembangkan dan
menyebarluaskan pemikiran dan Aqidah ke wilayah-wilayah lain dalam rangka
menunaikan tugas risalah kemanusiaan yang universal, serta melaksanakan
tanggung jawab dalam rangka menyadarkan, membebaskan dan menyelamatkan umat
manusia dari kehancuran aqidah. Kedua,
mengaharapkan tercapainya kemungkinan-kemungkinan baru dan ditemukannya
lingkungan yang mendukung perjuagan di luar wilayah sosial-politik yang zalim,
guna melakukan perjuangan menentang kezaliman tersebut.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat dipahami
bahwa latar belakang hijranya Rasulullah saw. Beserta kaum muslimin tidak lain
adalah untuk menyelamatkan diri dan juga juga menyelamatkan Agama tauhid,
risalah kebenaran yang sedang berada dalam tanggung jawabnya. Hijrah tersebut bukan
berarti lari dari tanggung jawab karena tidak tahan menerima tantangan,
melainkan hijrah itu itu dilakukan, semata-mata untuk mencari tempat yang
kondusif untuk selanjutnya menyusun kekuatan baru demi tercapainya kemenangan
yang diharapkan.
2. Dasar Berpolitik Negri Madinah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yastrib
(Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam
sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Makkah, pada periode Madinah,
Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan
masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan
saja sebagai kepala agama tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain,
dalam diri Nabi terkukmpul dua kekuasaan yaitu, Kekuasaan Spiritual dan
Kekuasaan Duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala
negara.[7]
Dalam
rangka memperkokoh masyarakat dan Negara baru itu, beliau segera meletakkan
dasar-dasar kehidupan bermayarakat. Dasar-dasar tersebut ialah :
1.Pembangunan
Masjid
Tujuan dari
pembangunan Masjid ialah bukan hanya sebagai tempat ibadah dan dakwah Islam,
tetapi juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum Muslimin dan
mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan
masalah-masalah yang dihadapi. Masjid pada Nabi juga berfungsi sebagai pusat
pemerintahan.
2.Mempersaudarakan
Kaum Muhajirin dan Anshar (Ukhuwwah
Islamiyyah)
Nabi mempersaudarakan antara golongan
orang-orang yng hijrah dari Makkah ke Madinah (Kaum Muhajirin) dengan penduduk Madinah yang sudah masuk Islam (Kaum Anshar). Dengan demikian
diharapkan, setiap muslim merasa terikat dalam satu persaudaraan dan
kekeluargaan.
3.Menciptakan
Perdamaian Antar Suku
Hubungan
persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah,
disamping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan Yahudi dan orang-orang
Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat
dapat terwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan perjanjian dengan mereka. Sebuah
piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai komunitas
dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang
politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota
masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negri itu dari serangan luar.
Dari
hal tersebut jelas disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw menjadi kepala
pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas
mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakkan dasar
persamaan antar sesama manusia. Dalam pandangan ketatanegaraan sering disebut
dengan Konstitusi Madinah.[8]
Dalam
menjalankan roda pemerintahan Nabi Muhammad saw. Sebagai kepala Negara
menggunakan perinsip keadilan yang harus dijalankan kepada setiap penduduk
tanpa pandang bulu. Nabi juga menerapkan prinsip musyawarah untuk memecahkan
segala macam persoalan. Selain itu, Nabi Muhammad saw. tidak hanya
mengakomodasi kepentingan kaum muslimin, melainkan juga kaum Yahudi dan
mempersatukan kedua ummat yang serumpun itu di bawah kepemimpinannya. Nabi juga
bertindak sebagai hakim yang mengadili perkara-perkara yang terjadi di tengah
masyarakat. Untuk mengadili pelanggaran ketertiban umum, Nabi Muhammad saw.
membentuk lembaga hisbah yang bertugas melakukan ketertiban atas perilaku
perdagangan di pasar-pasar. Tidak sebatas itu saja, Nabi juga mengelola zakat,
pajak dan ghanimah untuk kesejahteraan penduduk.
Sementara itu untuk pemerintahan daerah, Nabi
Muhammad saw. mengangkat para gubernur atau hakim. Salah satu diantaranya
adalah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi gubernur di Yaman. Sedangkan untuk
memperlancar tugas-tugas kenegaranaan, Nabi Muhammad saw. dibantu oleh beberapa
orang sekretaris seperti Zaid bin Tsabit dan Ali bin Abi Thalib. Dalam hubungan
internasional, Nabi menjalankan hubungan diplomatik dengan Negara-negara
sahabat. Ia mengirim surat dakwah kepada kepala Negara lain, diantaranya adalah
Persia, Abbessinnia, Oman, Yamamah, Bahrain, Syam dan Yaman. Hal ini merupakan
langkah untuk menjalin hubungan diplomatik secara damai[9].
Dari berbagai pernyataan di atas membuktikan
bahwa Nabi Muhammad saw. dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama dan
juga kepala Negara telah menjalankan pola pendelegasian wewenang dan kehidupan
berkonstitusi. Negara Madinah dibangun dengan tatanan sosial politik tidak
dengan kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama serta tidak atas
prinsip-prinsip ad hoc (sementara) yang dapat berubah-ubah sejalan dengan
kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip yang dilembagakan dalam sebuah
dokumen kesepakatan semua anggota masyarakat, yaitu konstitusi[10].
Dengan demikian negara yang didirikan Nabi
Muhammad saw di Madinah tidak hanya membuktikan bahwa Rasulullah saw. Memang
seorang negarawan, ahli politik dan ekonomi, tetapi juga sekaligus mematahkan
tuduhan Barat bahwa Islam anti demokrasi. Sebab sebelum Negara demokrasi
menemukan bentuknya di Barat, Rasulullah saw. justru telah meletakkan
dasar-dasar demokrasi yang sanggup menjawab kebutuhan bermasyarakat dan
bernegara.
3.
Piagam Madinah Darussalam dan Darul islam[11]
Piagam Madinah
disepakati tidak lama sesudah umat muslim pindah ke Yatsrib yang waktu itu
masih tinggi rasa kesukuannya. Piagam Madinah diakui sebagai
bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah
yang plural, adil, dan berkeadaban. Di mata para sejarahwan dan sosiolog
ternama Barat, Robert N. Bellah, Piagam Madinah yang disusun Rasulullah saw itu
dinilai sebagai konstitusi termodern di zamannya, atau konstitusi pertama di
dunia.
Dalam piagam Madinah setiap kelompok
menyepakati 5 perjanjian :
1. Tiap kelompok dijamin kebebasan dalam
beragama;
2. Tiap kelompok berhak menghukum
anggota kelompoknya yang bersalah;
3.Tiap kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan
Madinah baik yang muslim maupun yang
non muslim;
4.Penduduk Madinah semuanya sepakat mengangkat
Muhammad SAW sebagai pemimpinnya dan memberi keputusan hukum segala perkara
yang dihadapkan kepadanya;
5.Meletakkan landasan berpolitik, ekonomi dan
kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru dibentuk. Sementara perekonomian
Madinah dikuasai oleh orang Yahudi yang terkenal mahir dalam melakukan
aktivitas perekonomian. Kebijakan tersebut di antaranya melarang riba, gharar,
ihtikar dan tadlis.
Adapun Piagam Madinah
itu mempunyai arti tersendiri bagi semua penduduk Madinah dari masing-masing
golongan yang berbeda. Bagi Nabi Muhammad, maka Ia diakui sebagai pemimpin yang
mempunyai kekuasaan politis. Bila terjadi sengketa di antara penduduk Madinah
maka keputusannya harus dikembalikan kepada keputusan Allah dan kebijaksanaan
Rasul-Nya. Pasal ini menetapkan wewenang pada Nabi untuk menengahi dan
memutuskan segala perbedaan pendapat dan permusuhan yang timbul di antara
mereka.
Hal ini sesungguhnya
telah lama diharapkan penduduk Madinah, khususnya golongan Arab, sehingga
kedatangan Nabi dapat mereka terima. Harapan ini tercermin di dalam Baitul
Aqabah I dan II yang mengakui Muhammad sebagai pemimpin mereka dan mengharapkan
peranannya di dalam mempersatukan Madinah.
Sedangkan bagi umat
Islam, khususnya kaum Muhajirin, Piagam Madinah semakin memantapkan kedudukan
mereka. Bersatunya penduduk Madinah di dalam suatu kesatuan politik membuat
keamanan mereka lebih terjamin dari gangguan kaum kafir Quraisy. Suasana yang
lebih aman membuat mereka lebih berkonsentrasi untuk mendakwahkan Islam.
Terbukti Islam berkembang subur di Madinah ini.
Bagi penduduk Madinah
pada umumnya, dengan adanya kesepakatan piagam Madinah, menciptakan suasana
baru yang menghilangkan atau memperkecil pertentangan antar suku. Kebebasan
beragama juga telah mendapatkan jaminan bagi semua golongan. Yang lebih
ditekankan adalah kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan
dalam kehidupan sosial politik di dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian.
Piagam Madinah ternyata
mampu mengubah eksistensi orang-orang mukmin dan yang lainnya dari sekedar
kumpulan manusia menjadi masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang
memiliki kedaulatan dan otoritas politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat
mereka hidup bersama, bekerjasama dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial
mereka, yang bebas dari pengaruh dan penguasaan masyarakat lain dan mampu
mewujudkan kehendak mereka sendiri.
Muhammad Jad Maula Bey,
dalam bukunya “Muhammad al-Matsalul Kamil” menyimpulkan, bahwa di dalam
waktu yang relatif pendek tersebut Nabi telah sukses menciptakan tiga pekerjaan
besar, yaitu:[12]
a. Membentuk suatu umat yang menjadi umat yang terbaik
b. Mendirikan suatu “negara” yang bernama Negara Islam; dan
c. Mengajarkan suatu agama, yaitu agama Islam
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Hijrah memiliki makna
yang lebih jauh dari sekedar berpindah, ia adalah strategi dakwah, ketaatan
atas perintah Allah SWT, pengorbanan harta dan kecintaan terhadap tanah air
sehingga dengan mudah pula kita menyimpulkan bahwa peristiwa berpindahnya Nabi
Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah bukan sekedar pindah karena lantaran
terusir dan terancam oleh kafir Quraisy tetapi ia adalah gambaran ketaatan
hamba kepada pencipta-Nya dan gambaran kebenaran janji Allah SWT atas orang
beriman yang mau bersabar dengan mengorbankan harta, bahkan jiwa yang mereka
miliki, lalu Allah SWT membalasnya dengan kemenangan dan kemuliaan.
Dasar berpolitik negeri
Madinah adalah prinsip keadilan yang harus dijalankan kepada setiap penduduk
tanpa pandang bulu. Dalam perinsip keadilan diakui adanya kesamaan derajat
antaramanusia yang satu dengan manusia yang lain, yang membedakan di antara
mereka hanyalah taqwa kepada Allah. Yang lain adalah prinsip musyawarah untuk
memecahkan segala persoalan dengan dalil al-Qur’an “ Dan bermusyawarahlah di
antara mereka dalam suatu urusan”(Q.S. al-Syura,42:38).
Dalam piagam Madinah setiap kelompok
menyepakati 5 perjanjian :
1.Tiap kelompok dijamin kebebasan dalam
beragama;
2.Tiap kelompok berhak menghukum anggota
kelompoknya yang bersalah;
3.Tiap kelompok harus saling membantu dalam
mempertahankan Madinah baik yang muslim
maupun yang non muslim;
4.Penduduk Madinah semuanya sepakat mengangkat
Muhammad SAW sebagai pemimpinnya dan memberi keputusan hukum segala perkara
yang dihadapkan kepadanya;
5.Meletakkan landasan berpolitik, ekonomi dan
kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru dibentuk. Sementara perekonomian
Madinah dikuasai oleh orang Yahudi yang terkenal mahir dalam melakukan
aktivitas perekonomian. Kebijakan tersebut di antaranya melarang riba, gharar,
ihtikar, dan tadlis.
[1] Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
(Jilid 2, Jakarta, Pustaka Alhusna, 1983) hlm 45-47
[2] http://inayahrii.blogspot.co.id/2012/12/peradaban-islam-rosulullah-periode.html
(blog,dibuat tgl 25 desember 2012) kamis 08 oktober 2015, pukul 12:20
[3]
Yatim Badri, Sejarah Peradaban
Islam, PT: Gravindo Persada : 2003 hlm 24-28
[4] http://gifaranti.blogspot.co.id/2014/06/makalah-perkembangan-islam-periode_1.html
(blog dibuat minggu 01 juni 2014) diakses kamis, 08 oktober 2015 pukul 12:26
[5] Ibid
hlm 80
[6] Harun Nasution,: Filsafat Pendidikan Islam 1982 Jakarta.hlm 152
[7]
Harun Nasution,Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1985, cetakan ke lima),
hlm. 101
[8]
Opcit hlm 27
[9]
Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta
Timur, Penada Media: 2003 hlm 52
[10]
0pcit 30
[12] http://meyistiana20.blogspot.co.id/2013/05/hijrah-rasulullah-periode-makkah-622-632.html
( blog dibuat pada selasa 08 mei 2013) diakses kamis 08 oktober 2015 pukul
12:48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar