Minggu, 25 Oktober 2015

PERADABAN ISLAM RASULULLAH PERIODE MADINAH

PERADABAN ISLAM RASULULLAH PERIODE MADINAH 
A.PENDAHULUAN
            Kebudayaan Islam periode Nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua periode, yakni periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah dimulai dengan diangkatnya Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul dan mendapatkan wahyu dari Allah SWT yang isinya menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah SWT yaitu menegakkan Tauhid dan dasar-dasar Islam. Namun hal tersebut mendapat tantangan yang besar dari kalangan kaum Quraisy.[1]
Karena pada masa itu kaum Quraisy mempunyai sesembahan  lain yaitu berhala-berhala yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena keadaan yang demikian itulah, dakwah pertama yang dilakukan di Makkah dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang masuk Islam sangat sedikit. Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin banyak, Allah SWT pun memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk melakukan dakwah secara terang-terangan.
            Bertambahnya penganut agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, membuat kaum Quraisy menjadi gelisah dan terancam. Karena hal inilah mereka berusaha dengan semaksimal mungkin mengganggu dan menghentikan dakwah tersebut. Dengan cara diplomasi dan kekerasan yang  mereka lakukan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya.
Akibat kekerasan yang dilakukan oleh kaum Quraisy maka Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk berhijrah ke Madinah. Pada periode Madinah inilah babak kemajuan Islam dimulai. Pada periode ini Nabi Muhammad SAW berhasil membangun dan membina masyarakat Islam yang kuat.
Berdasarkan uraian diatas maka dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Peradaban Islam Rasulullah SAW Periode Makkah (622-632 M ) serta kajian-kajian lain yang berkaitan tentangnya.








B. PEMBAHASAN
1. Arti Hijrah Nabi ke Madinah
Hijrah menurut bahasa berasal dari bahasa latin yaitu ”hegira” dan dikenal dalam bahasa arab هجر- يهجر- هجرة yang berarti memutuskan hubungan dengan orang lain. Dari pengertian menurut bahasa tersebut dapat dipahami bahwa hijrah pada dasarnya dimaksudkan untuk menyingkirkan diri dari tindakan-tindakan dan teror yang bersifat fisik yang dapat mencelakan diri sendiri.
Sementara itu Philip K. Hitti mengemukakan bahwa hijrah menurut istilah adalah akhir periode mekkah dan awal dimulainya periode madinah yang merupakan kebalikan dari hidup Nabi Muhammad saw. Dia meninggalkan kota besar tempatnya dilahirkan dan dibesarkan karena sangat meremehkannya, kemudian ia masuk kota besar yang mengangkatnya sebagai seorang pemimpin yang terhormat. Sementara hijrah menurut Nurcholis Madjid adalah tekad dalam meninggalkan kepalsuan, pindah sepenuhnya kepada kebenaran, dengan kesediaan untuk berkorban dan menderita, kerena keyakinan kemenangan terakhir akan dianugrahkan Allah kepada pejuang kebenaran itu.[2]
Jadi pengertian hijrah dalam hal ini menyangkut aspek spiritual dan kejiwaan, yakni suatu tekad yang tidak mengenal kalah dalam menegakkan kebenaran. Selama 13 tahun hidup di kota Mekkah. Nabi Muhammad saw Serta para pengikutnya sering mengalami cobaan besar dan siksaan yang sangat pedih, disamping itu hak kemerdekaan mereka dirampas, mereka diusir dan harta benda mereka disita. Siksaan pedih berupa dera cambuk sangat meresahkan para sahabat dan kaum muslimin pada umumnya.Tekanan yang sangat dahsyat dialami Rasulullah beserta pengikutnya selama menyampaikan dakwah demi tersebarnya risalah tauhid di tengah-tengah kaum kafir Quraisy.
Namun ancaman dan tindakan kekerasan yang dialami Nabi Muhammad saw tersebut masih bisa dilalui dengan penuh kesabaran dan keteguhan iman. Tekanan itu baru dirasakan sangat meresahkan bagi Nabi Muhammad saw. Setelah Khadijah, istri Nabi Muhammad saw meninggal dunia, dirinya telah kehilangan istri tercinta tempat curahan kasih sayangnya. Kesedihan itu kembali bertambah setelah tidak lama berselang paman Rasulullah saw yaitu Abu Thalib juga bepulang ke rahmatullah. Kematian Abu Thalib ini menyebabkan Nabi Muhammad saw telah kehilangan pelindung setia yang senantiasa melindunginya dari berbagai macam ancaman. Kepergian Abu Thalib untuk selama-lamanya ini telah memberi peluang kepada kaum kafir Quraisy untuk tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan kepada Rasulullah saw berserta para pengikutnya.
 Kaum musyrikin Quraisy semakin gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Pada tahun kenabian yang ke-13 di mana pada waktu itu bertepatan dengan tahun 622 M, jamaah Yastrib datang kembali ke kota Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Jamaah tersebut berjumlah sekitar 73 orang. Setibanya di kota Mekkah mereka menemui Nabi Muhammad SAW dan atas nama penduduk Yastrib mereka menyampaikan pesan untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW[3]. Pesan itu berupa permintaan masyarakat Yastrib agar Nabi Muhammad SAW bersedia datang ke kota Mekkah memberikan penerangan tentang ajaran Islam dan sebagainya. Permohonan itu dikabulkan Nabi Muhammad SAW dan beliau menyatakan kesediaannya untuk datang dan berdakwa di sana. Untuk memperkuat kesepakatan itu, mereka mengadakan perjanjian kembali di Bukit Aqabah atau yang dikenal dengan perjanjian Aqabah ke II[4].
Adapun isi perjanjian Aqabah ke II ini adalah :
1.      Penduduk Yastrib siap dan bersedia melindungi Nabi Muhammad SAW.
2.      Penduduk Yastrib ikut berjuang dalam membela Islam dengan harta dan jiwa.
3.      Penduduk Yastrib ikut berusaha memajukan Agama Islam dan menyiarkan kepada sanak saudara mereka.
4.      Penduduk Yastrib siap menerima segala resiko dan tantangan.
Dengan keputusan tersebut maka terbukalah dihadapan Nabi Muhammad SAW harapan baru untuk memperoleh kemenangan karena telah mendapat jaminan bantuan dan perlindungan dari masyarakat Yastrib. Hal ini membuat Nabi Muhammad saw segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yastrib. Dalam waktu dua bulan hampir semua kaum muslimin sekitar 150 orang telah meninggalkan kota Mekkah.
Dalam perjalanan ke Yastrib Nabi ditemani Abu Bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar 5 km dari Yastrib, Nabi beristirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah inilah Nabi Membangun sebuah Masjid. Inilah Masjid pertama yang dibangun Nabi, sebagai pusat peribadatan yang dikenal sebagai Masjid Quba[5].
Tak lama kemudian, waktu yang mereka tunggu itu tiba. Nabi memasuki kota Yastrib dan penduduk kota sangat bergembira. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yastrib diubah menjadi  Madinatul Nabi (kota Nabi) atau yang sering disebut  Madinatul Munawarah (Kota yang Bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia.
Menurut al-Faruqi bahwa yang melatar belakangi hijrah Rasulullah saw ke Madinah adalah gerakan untuk mencari keselamatan. Dan ini merupakan upaya untuk mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai titik tolak bagi perkembangan keimanan baru sekaligus untuk menata ulang masyarakat muslim, baik sebagai tatanan sosial maupun Negara. Hal tersebut dipertegas oleh Abdullah al-Hatib, bahwa hijrah selain penghindaran dari fitnah dan cobaan,  juga untuk menjalin ikatan yang kuat, menghimpun kekuatan, memperoleh daerah strategis untuk membentuk suatu kekuatan politik[6].
Sedangkan menurut Ali Syariati bahwa hal lain yang mendorong hijranya Nabi Muhammad saw. Dan kaum Muslimin ke Madinah, Pertama, mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran dan Aqidah ke wilayah-wilayah lain dalam rangka menunaikan tugas risalah kemanusiaan yang universal, serta melaksanakan tanggung jawab dalam rangka menyadarkan, membebaskan dan menyelamatkan umat manusia dari kehancuran aqidah. Kedua, mengaharapkan tercapainya kemungkinan-kemungkinan baru dan ditemukannya lingkungan yang mendukung perjuagan di luar wilayah sosial-politik yang zalim, guna melakukan perjuangan menentang kezaliman tersebut.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat dipahami bahwa latar belakang hijranya Rasulullah saw. Beserta kaum muslimin tidak lain adalah untuk menyelamatkan diri dan juga juga menyelamatkan Agama tauhid, risalah kebenaran yang sedang berada dalam tanggung jawabnya. Hijrah tersebut bukan berarti lari dari tanggung jawab karena tidak tahan menerima tantangan, melainkan hijrah itu itu dilakukan, semata-mata untuk mencari tempat yang kondusif untuk selanjutnya menyusun kekuatan baru demi tercapainya kemenangan yang diharapkan.
2.  Dasar Berpolitik Negri Madinah
            Setelah tiba dan diterima penduduk Yastrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Makkah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkukmpul dua kekuasaan yaitu, Kekuasaan Spiritual dan Kekuasaan Duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala negara.[7]
            Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan Negara baru itu, beliau segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermayarakat. Dasar-dasar tersebut ialah :
1.Pembangunan Masjid
Tujuan dari pembangunan Masjid ialah bukan hanya sebagai tempat ibadah dan dakwah Islam, tetapi juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum Muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Masjid pada Nabi juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
2.Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Anshar (Ukhuwwah Islamiyyah)
 Nabi mempersaudarakan antara golongan orang-orang yng hijrah dari Makkah ke Madinah (Kaum Muhajirin) dengan penduduk Madinah yang sudah masuk Islam (Kaum Anshar). Dengan demikian diharapkan, setiap muslim merasa terikat dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan.
3.Menciptakan Perdamaian Antar Suku
Hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat terwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negri itu dari serangan luar.
            Dari hal tersebut jelas disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw menjadi kepala pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakkan dasar persamaan antar sesama manusia. Dalam pandangan ketatanegaraan sering disebut dengan Konstitusi Madinah.[8]
            Dalam menjalankan roda pemerintahan Nabi Muhammad saw. Sebagai kepala Negara menggunakan perinsip keadilan yang harus dijalankan kepada setiap penduduk tanpa pandang bulu. Nabi juga menerapkan prinsip musyawarah untuk memecahkan segala macam persoalan. Selain itu, Nabi Muhammad saw. tidak hanya mengakomodasi kepentingan kaum muslimin, melainkan juga kaum Yahudi dan mempersatukan kedua ummat yang serumpun itu di bawah kepemimpinannya. Nabi juga bertindak sebagai hakim yang mengadili perkara-perkara yang terjadi di tengah masyarakat. Untuk mengadili pelanggaran ketertiban umum, Nabi Muhammad saw. membentuk lembaga hisbah yang bertugas melakukan ketertiban atas perilaku perdagangan di pasar-pasar. Tidak sebatas itu saja, Nabi juga mengelola zakat, pajak dan ghanimah untuk kesejahteraan penduduk.
Sementara itu untuk pemerintahan daerah, Nabi Muhammad saw. mengangkat para gubernur atau hakim. Salah satu diantaranya adalah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi gubernur di Yaman. Sedangkan untuk memperlancar tugas-tugas kenegaranaan, Nabi Muhammad saw. dibantu oleh beberapa orang sekretaris seperti Zaid bin Tsabit dan Ali bin Abi Thalib. Dalam hubungan internasional, Nabi menjalankan hubungan diplomatik dengan Negara-negara sahabat. Ia mengirim surat dakwah kepada kepala Negara lain, diantaranya adalah Persia, Abbessinnia, Oman, Yamamah, Bahrain, Syam dan Yaman. Hal ini merupakan langkah untuk menjalin hubungan diplomatik secara damai[9].
Dari berbagai pernyataan di atas membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw. dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama dan juga kepala Negara telah menjalankan pola pendelegasian wewenang dan kehidupan berkonstitusi. Negara Madinah dibangun dengan tatanan sosial politik tidak dengan kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama serta tidak atas prinsip-prinsip ad hoc (sementara) yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip yang dilembagakan dalam sebuah dokumen kesepakatan semua anggota masyarakat, yaitu konstitusi[10].
Dengan demikian negara yang didirikan Nabi Muhammad saw di Madinah tidak hanya membuktikan bahwa Rasulullah saw. Memang seorang negarawan, ahli politik dan ekonomi, tetapi juga sekaligus mematahkan tuduhan Barat bahwa Islam anti demokrasi. Sebab sebelum Negara demokrasi menemukan bentuknya di Barat, Rasulullah saw. justru telah meletakkan dasar-dasar demokrasi yang sanggup menjawab kebutuhan bermasyarakat dan bernegara.


3.  Piagam Madinah Darussalam dan Darul islam[11]
Piagam Madinah disepakati tidak lama sesudah umat muslim pindah ke Yatsrib yang waktu itu masih tinggi rasa kesukuannya. Piagam Madinah diakui sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban. Di mata para sejarahwan dan sosiolog ternama Barat, Robert N. Bellah, Piagam Madinah yang disusun Rasulullah saw itu dinilai sebagai konstitusi termodern di zamannya, atau konstitusi pertama di dunia.
Dalam piagam Madinah setiap kelompok menyepakati 5 perjanjian :
1. Tiap kelompok dijamin kebebasan dalam beragama;
2. Tiap kelompok berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah;
3.Tiap kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah baik yang muslim    maupun yang non muslim;
4.Penduduk Madinah semuanya sepakat mengangkat Muhammad SAW sebagai pemimpinnya dan memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya;
5.Meletakkan landasan berpolitik, ekonomi dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru dibentuk. Sementara perekonomian Madinah dikuasai oleh orang Yahudi yang terkenal mahir dalam melakukan aktivitas perekonomian. Kebijakan tersebut di antaranya melarang riba, gharar, ihtikar dan tadlis.
Adapun Piagam Madinah itu mempunyai arti tersendiri bagi semua penduduk Madinah dari masing-masing golongan yang berbeda. Bagi Nabi Muhammad, maka Ia diakui sebagai pemimpin yang mempunyai kekuasaan politis. Bila terjadi sengketa di antara penduduk Madinah maka keputusannya harus dikembalikan kepada keputusan Allah dan kebijaksanaan Rasul-Nya. Pasal ini menetapkan wewenang pada Nabi untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaan pendapat dan permusuhan yang timbul di antara mereka.
Hal ini sesungguhnya telah lama diharapkan penduduk Madinah, khususnya golongan Arab, sehingga kedatangan Nabi dapat mereka terima. Harapan ini tercermin di dalam Baitul Aqabah I dan II yang mengakui Muhammad sebagai pemimpin mereka dan mengharapkan peranannya di dalam mempersatukan Madinah.
Sedangkan bagi umat Islam, khususnya kaum Muhajirin, Piagam Madinah semakin memantapkan kedudukan mereka. Bersatunya penduduk Madinah di dalam suatu kesatuan politik membuat keamanan mereka lebih terjamin dari gangguan kaum kafir Quraisy. Suasana yang lebih aman membuat mereka lebih berkonsentrasi untuk mendakwahkan Islam. Terbukti Islam berkembang subur di Madinah ini.
Bagi penduduk Madinah pada umumnya, dengan adanya kesepakatan piagam Madinah, menciptakan suasana baru yang menghilangkan atau memperkecil pertentangan antar suku. Kebebasan beragama juga telah mendapatkan jaminan bagi semua golongan. Yang lebih ditekankan adalah kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik di dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian.
Piagam Madinah ternyata mampu mengubah eksistensi orang-orang mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama, bekerjasama dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka, yang bebas dari pengaruh dan penguasaan masyarakat lain dan mampu mewujudkan kehendak mereka sendiri.
Muhammad Jad Maula Bey, dalam bukunya “Muhammad al-Matsalul Kamil” menyimpulkan, bahwa di dalam waktu yang relatif pendek tersebut Nabi telah sukses menciptakan tiga pekerjaan besar, yaitu:[12]
a. Membentuk suatu umat yang menjadi umat yang terbaik
b. Mendirikan suatu “negara” yang bernama Negara Islam; dan
c. Mengajarkan suatu agama, yaitu agama Islam










C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Hijrah memiliki makna yang lebih jauh dari sekedar berpindah, ia adalah strategi dakwah, ketaatan atas perintah Allah SWT, pengorbanan harta dan kecintaan terhadap tanah air sehingga dengan mudah pula kita menyimpulkan bahwa peristiwa berpindahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah bukan sekedar pindah karena lantaran terusir dan terancam oleh kafir Quraisy tetapi ia adalah gambaran ketaatan hamba kepada pencipta-Nya dan gambaran kebenaran janji Allah SWT atas orang beriman yang mau bersabar dengan mengorbankan harta, bahkan jiwa yang mereka miliki, lalu Allah SWT membalasnya dengan kemenangan dan kemuliaan.
Dasar berpolitik negeri Madinah adalah prinsip keadilan yang harus dijalankan kepada setiap penduduk tanpa pandang bulu. Dalam perinsip keadilan diakui adanya kesamaan derajat antaramanusia yang satu dengan manusia yang lain, yang membedakan di antara mereka hanyalah taqwa kepada Allah. Yang lain adalah prinsip musyawarah untuk memecahkan segala persoalan dengan dalil al-Qur’an “ Dan bermusyawarahlah di antara mereka dalam suatu urusan”(Q.S. al-Syura,42:38).
Dalam piagam Madinah setiap kelompok menyepakati 5 perjanjian :
1.Tiap kelompok dijamin kebebasan dalam beragama;
2.Tiap kelompok berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah;
3.Tiap kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah baik yang  muslim maupun yang non muslim;
4.Penduduk Madinah semuanya sepakat mengangkat Muhammad SAW sebagai pemimpinnya dan memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya;
5.Meletakkan landasan berpolitik, ekonomi dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru dibentuk. Sementara perekonomian Madinah dikuasai oleh orang Yahudi yang terkenal mahir dalam melakukan aktivitas perekonomian. Kebijakan tersebut di antaranya melarang riba, gharar, ihtikar, dan tadlis.











[1] Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jilid 2, Jakarta, Pustaka Alhusna, 1983) hlm 45-47
[3] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, PT: Gravindo Persada : 2003 hlm 24-28
[4] http://gifaranti.blogspot.co.id/2014/06/makalah-perkembangan-islam-periode_1.html (blog dibuat minggu 01 juni 2014) diakses kamis, 08 oktober 2015 pukul 12:26
[5] Ibid hlm 80
[6]  Harun Nasution,: Filsafat Pendidikan Islam 1982 Jakarta.hlm 152
[7] Harun Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1985, cetakan ke lima), hlm. 101
[8] Opcit hlm 27
[9] Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur, Penada Media: 2003 hlm 52
[10] 0pcit 30
[11] Abdul Muk’in Majid, Sejarah Kebudayaan Islam,  Pustaka, Bandung, 1997, hlm.14

[12] http://meyistiana20.blogspot.co.id/2013/05/hijrah-rasulullah-periode-makkah-622-632.html ( blog dibuat pada selasa 08 mei 2013) diakses kamis 08 oktober 2015 pukul 12:48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar